Setiap kali bulan Oktober datang, kita diingatkan kembali pada Sumpah Pemuda. Hampir seabad lalu, anak-anak muda yang jauh dari kata mapan berani bersumpah: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Dari situlah lahir bara perjuangan kemerdekaan. Kini, 2025, pertanyaan yang harus kita ajukan: apakah panggung pemuda masih ada, atau sudah habis dikuasai oleh kepentingan pragmatis dan politik dinasti?
Sejarah Indonesia jelas: pemuda selalu menjadi motor perubahan. Tahun 1966, mahasiswa mengguncang Orde Lama. Tahun 1998, mahasiswa menumbangkan Orde Baru. Tetapi hari ini, generasi muda lebih sering sibuk dengan layar ponsel ketimbang membicarakan masa depan bangsanya. Bukan salah teknologi sepenuhnya, tetapi budaya instan dan distraksi digital membuat banyak pemuda kehilangan arah. Magetan, tanah kita, menghadapi tantangan yang sama. Banyak anak muda memilih merantau ke Surabaya, Jogja, Jakarta, atau bahkan ke luar negeri demi mencari penghidupan yang lebih layak.
Pertanian dan peternakan, yang seharusnya menjadi kebanggaan lokal, masih dianggap kurang menjanjikan. UMKM kreatif memang tumbuh, tetapi sering mentok pada satu titik, stagnan, tidak bisa di- scale up . Akhirnya, pemuda Magetan yang penuh energi lebih sering menjadi penonton, bukan aktor utama pembangunan daerah.
Ironisnya, kalau kita melihat politik nasional, beberapa wajah pemuda memang bermunculan. Tetapi jujur saja, ruang itu bukan benar-benar “diambil” oleh generasi muda, melainkan “diturunkan” sebagai warisan dinasti politik. Pemuda akar rumput yang lahir dari kampung, pesantren, dan desa, termasuk di Magetan, masih sering termarginalkan di pinggir panggung.
Namun menyalahkan sistem saja tidak cukup. Kita, para pemuda, juga perlu mempersiapkan diri. Jangan hanya kritis di media sosial tetapi sepi di lapangan. Jangan hanya lantang bicara soal perubahan, tetapi malas membangun kapasitas. Magetan butuh pemuda yang berani turun tangan: menghidupkan UMKM dan ekonomi kreatif, memodernisasi pertanian dan peternakan, menggerakkan komunitas budaya, atau bahkan masuk ke politik dengan idealisme.
Baru-baru ini kita dihebohkan dengan pidato seorang pelajar SMA di Kathmandu yang mendadak viral. Dengan lantang ia bicara soal ketidakadilan dan masa depan bangsanya. Kata-katanya memantik semangat, menyalakan gerakan baru. Dari negeri kecil di Himalaya, dunia diingatkan: panggung pemuda belum habis, hanya menunggu keberanian untuk dinaiki. Refleksi dari Nepal penting untuk kita. Kalau anak SMA di sana bisa membakar semangat bangsanya, mengapa pemuda dari lereng Lawu tidak bisa?
Jangan-jangan masalah kita bukan kurangnya panggung, melainkan kurangnya keberanian untuk tampil. Menafsir ulang Sumpah Pemuda hari ini berarti merumuskan kembali komitmen bersama.
Kalau di 1928 para pemuda mengikat diri pada tanah air, bangsa, dan bahasa, maka di 2025 kita, para pemuda bisa merumuskan sumpah baru, minimal untuk diri masing - masing: Berpegang pada integritas, Melahirkan karya, dan Memberi kontribusi nyata untuk negeri.
Berpegang pada integritas berarti tetap konsisten antara ucapan dan perbuatan, meskipun tidak ada yang melihat. Ini tentang menjaga prinsip di tengah godaan untuk mencari jalan pintas, dan berani berkata benar walau tidak populer. Integritas adalah pondasi kepercayaan, tanpanya, semua pencapaian hanya akan tampak megah di luar tapi rapuh di dalam.
Melahirkan karya artinya tidak berhenti di ide atau omongan saja, tapi benar-benar mewujudkannya dalam bentuk nyata, sekecil apa pun. Bisa tulisan, bisnis, teknologi, atau hal sederhana yang bermanfaat bagi orang lain. Karya adalah bukti bahwa kita pernah berjuang, pernah berusaha membuat sesuatu yang punya arti dan meninggalkan jejak baik di dunia ini.
Memberi kontribusi nyata untuk negeri bukan hanya soal proyek besar atau jabatan tinggi. Semuanya bisa dimulai dari hal kecil: memberi kebermanfaatan bagi orang sekitar, berbagi ilmu, atau bekerja dengan sungguh-sungguh di bidang kita masing-masing. Negeri ini tumbuh bukan hanya karena segelintir orang hebat, tapi karena banyak orang biasa yang memilih untuk berbuat sesuatu, bukan hanya mengeluh.
Bagi pemuda Magetan, itu berarti juga berani bertahan di tanah sendiri, membangun potensi lokal, dan tidak sekadar menunggu kesempatan dari kota besar. Sumpah Pemuda bukan hanya kata-kata indah di spanduk atau sekadar seremoni belaka. Ia adalah tantangan: apakah kita masih punya nyali untuk mengambil peran?
Sejarah tidak menunggu mereka yang ragu. Sejarah hanya menulis nama mereka yang berani. Pertanyaannya kini sederhana tetapi berat: maukah kita, pemuda Magetan, pemuda Indonesia, kembali naik ke panggung itu?
Andrik Prastiyono
Bidang Pemuda, Pelajar, dan Mahasiswa DPD PKS Magetan

Komentar
Posting Komentar